Realisme klasik |
“The World of International Politics as It is, rather than How We Might Like It To Be”
Realisme klasik merupakan pendekatan yang sangat berpengaruh di dalam Ilmu Hubungan Internasional. Sebagai paradigma, realism tidak hanya memberikan nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya, tetapi juga bentuk struktur yang menjelaskan studi Ilmu Hubungan Internasional, termasuk security studies atau pengkajian strategis di dalamnya. Dalam memandang hubungan internasional apa adanya, dibandingkan dunia seperti apa yang kita mau (Burchill 2005:31)
Realisme klasik mempercayai bahwa nation-state atau negara, merupakan aktor yang memiliki otoritas politik tertinggi. Seperti halnya manusia, negara juga memiliki hasrat untuk mendominasi negara lainnya, yang akhirnya dapat memicu terjadinya konflik atau perang. Pendekatan ini beranggapan bahwa dunia merupakan sebuah wilayah yang tidak aman dimana wilayah internasional merupakan sebuah medan konflik antar negara. Kondisi ini menggambarkan cara pandang realisme yang pesimis akan terciptanya perdamainan di dalam interaksi antar negara (Walt 1998:31). Karena itu, realisme klasik memandang bahwa kondisi internasional memiliki karakteristik konflik, kecurigaan, dan kompetisi antar negara.
Morgentau memandang dunia diidentifikasikan sebgai wilayah “cacat” yang disebabkan oleh sifat manusia yang cenderung memaksa. Bentuk pemaksaan ini disebabkan oleh konflik kepentingan antar negara, karena itu setiap negara perlu berasoisasi dengan kekuatan pemaksa tersebut dibandingakan menentangnya (Burhill et all., 2005:78). Menurut Morgenthau (1985:4-7) terdapat 6 (enam) prinsip mendasar yang menjelaskan nilai-nilai politik dalam perspektif Realisme klasik, yaitu :
1. Politik dipengaruhi oleh dalil-dalil objektif yang berakar pada sifat dasar manusia. Dalil-dalil atau hukum-hukum tersebut memberikan keleluasan bagi kita untuk memiliki kepastian dan kepercayaan untuk memprediksi perilaku politik
2. Kata kunci untuk memahami politik internasional terletak pada konsep kepentingan yang didefinisikan sebagai power. Konsep ini menjelaskan hubungan antara alasan yang coba memahami politik internasional dan fakta yang harus dimengerti. Ide mengenai kepentingan didefinisikan kedalam pegertian power yang mengungkapkan perilaku nyata para politisi. Kondisi politik tidak memberikan ruang bagi moral atau etika, kecuali prefensi kepentingan nasional yang didefinisikan ke dalam kapabilitas strategi dan ekonomi.
3. Prinsip-prinsip moral yang bersifat universal tidak menuntun perilaku negara. perilaku politik negara berasoisasi dengan konsekuensi politik sehingga prinsip-prinsip moral yang universal tidak mempengaruhi tindakan negara dalam aksi politiknya. “fiat justitia, pereat mundusí” atau ”let justice be done even if the world perish”.
4. Realisme klasik mengansumikan bahwa konsep utama kepentingan yang mendefinisikan power sebagai kategori objektif yang bersifat valid. Atmosfer politik, budaya dan lingkungan strategis sangat mempengaruhi power sebuah negara dalam memilih dan menentukan penggunaan power. Periode waktu hanya akan menentukan jenis power yang terus berubah sesuai dengan perubahan zaman.
5. Realisme memandang tidak ada prinsip-prinsip moral yang dapat diterima secara universal. Meskipun negara-negara dalam waktu ke waktu selalu berusaha menjustifikasikan perilakuknya dengan menekankan pada nilai-nilai etika, penggunaan bahasa moral hanya untuk menjustifikasi dan meligitimasi perilaku yang didesain untuk mencapai kepentingan melalui power. Ketika negara-negara menyatakan prinsip-prinsip moral yang bersifat universal, yang sebetunya prinsip-prinsip moral tersebut hanyalah nilai-nilai bangsa-bangsa atau budaya-budaya tertentu yang coba didefinisikan secara meluas. Kepentingan merupakan standar baku yang mengacu pada bagaimana perilaku politik dijalankan.
6. Secara intelektual, lingkungan atmosfer politik bersifat otonom dari setiap lingkungan yang dapat mempengaruhi perhatian manusia. Apakah lingkungan hukum,moral dan ekonomi. Bentuk otonom lingkungan politik inilah yang memungkinkan kita untuk memahami wilayah internasional yang secara analitis dapat dibedakan dari bidang intelektual lainnya. Perbedaannya terletak pada keunikan standar pemikiran dan kriteria dalam menganalisa dan mengelavuasikan perilaku negara (kepentingan yang didefinisikan kedalam power). Argumen utamanya terletak pada bagaimana kebijakan mempengaruhi power sebuah bangsa, yang menjelaskan focus lingkungan otonom dalam analisa intelektual.
Keenam konteks prinsip politik dalam perspektif realism klasik menjelaskan bentuk perebutan kekuatan antar negara dalam mewujudkan kepentingan nasional. Konteks perebutan kekuatan atau struggle of power merupakan hal yang tidak dapat terhindarkan. Dengan kata lain, kondisi damai, bukan bentuk atau kondisi permanen dalam sistem internasional. Perdamainan dalam sistem internasional hanya merupakan waktu jeda di antara dua perang. Kalimat tersebut sangat dipercayai oleh kaum realis, karena itu mereka beranggapan bahwa negara perlu mencapai kemanan perang dengan membangun kekuatan sebagai bentuk persiapan menghadapi ancaman. Peningkatan kekuatan merupakan akumulasi kekuatan untuk meraih kepentingan nasional negara tersebut sekaligus menjaga keamanannya karena ai tidak dapat bergantung pada pertolongan negara lain. (Stean dan Pettiford)
Akumulasi kekuatan untuk keamanan terletak pada sifat konfliktual dalam interaksi antar negara yang tidak dapat terhindarkan. Untuk menghadapi potensi politik yang mengarah pada terjadinya perang, maka negara perlu menjadi kuat sebagai betnuk persiapan menghasapi perang dan dapat terjadi sewaktu-waktu. Realis beranggapan bahwa usaha untuk meniadakan perang hanyalah keinginan utopis dan menaifkan kebenaran objektif mengenai realitas politik internasional.
Realitas politik internasional, bagi kaum realis, hanyalah medan kompetisi antar negara yang diwainai atmosfer konfliktual sebgai akibat dari konflik kepentingan dalam mencapai keamanan. Konteks pemikiran tersebut sejalan dengan kondisi politik internasional yang menjelaskan bahwa power selalu menjadi esensi utama bagi negara. Hal ini merupakan pemikiran strategis untuk mendapatkan power sebgai bagian dalam mencapai keamanan. Bagi realism klasik esensi power bahasa Morgenthau, ”man’s control over minds and actions of other men” (Morgenthau 1985:13). Karena itu, pemikiran ini melihat kekuatan militer sebagai kapasitas negara untuk menjamin keamanan sekaligus memberikan kapasitas untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih spesifik (Stean dan Pettiford : 2001:30). Power berperan penting dalam menangkal ancaman dari luar sekaligus memberikan ruang gerak dalam mencapai kepentingan nasional di luar batas territorial. Power sebuah negara dapat dilihat dalam beberapa factor yang mejelaskan seberapa besar kekuatan atau national power sebuah negara itu :
1. Geografi
2. Sumber Daya Alam
3. Kapasitas Industri
4. Kesiapan Militer
5. Populasi
6. Karakter Nasional
7. Semangat Juang Bangsa
8. Diplomasi
9. Pemerintahan
Kecenderungan negara dalam mempersiapkan kekuatannya untuk mencapai keamanan dengan bersandar pada kekuatan nasionalnya, menjelaskan konteks pemikiran realisme klasik yang menekankan pembangunan kapabilitas kekuatan militer dengan tidak bergantung pada negara lain. Factor geografi sebuah negara merupakan salah satu kekuatan yang mempengaruhi proyeksi kebijakan luar negeri suatu negara. Disisi lain, peranan sumber daya alam sebuah negara menentukan besaran sumber daya alam yang mendukung kapabilitas pemberdayaan industry nasional, seperti bahan geografis, suber daya alam dan kapasitas industry nasional merupakan tiga factor yang dipersiapkan negara untuk menciptakan kekuatan militer yang tangguh.
Penctiptaan kekuatan militer tersebut diimplementasikan untuk menciptakan berbagai jenis persenjataan yang memiliki kemampuan teknologi tinggi yang didukung oleh kualitas kepemimpinan yang akan memiliki kemampuan teknologi tinggi yang didukung oleh kualitas kepimimpinan yang akan menentukan kualitas dan kuantitas kekuatan temput militer sebuah negara. Semakin besar ukuran populasi sebuah negara, semakin besar pula kekuatan nasional negara tersebut, tidak sepenuhnya benar. Kondisi ini menjelaskan bahwa besaran populasi sebuah negara yang memiliki motivasi untuk meningkatkan kekuatannya tetap terletak pada keberadaan populasinya. Faktor pemberdayaan industri nasional dan sumber daya manusia tetap bergantung pada nilai populasi sebuah negara.
Power sebuah negara juga dipengaruhi oleh faktor karakter nasional dan semangat juang bangsa sebuah negara. karakter nasional yang mencerminkan pengaruh yang dimiliki sebuah negara sehingga menentukan skala kualitas negara dalam politik internasional, sedangkan semangat juang bangsa memberikan dampak dukungan nasional dalam mendeteminasi berbagai kebijakan luar negerinya dalam konteks perang dan damai. Di sisi lain, kualitas diplomasi sebuah negara memiliki peranan penting dalam membangun kekuatan nasional sebuah negara. Diplomasi dapat berfungsi sebagai cara dan tujuan dari kebijakan luar negeri dalam mengharmonisasikan semua sumber daya nasional menjadi sebuah usaha nasional dalam mengimplementasikan arah kebijakan politik negara dalam hubungan antar bangsa. Sedangkan bentuk pemerinthan sebuah negara berperan dalam mengkombinasikan beberapa faktor untuk membangun kekuatan nasional. Sumber daya alam dan manusia, serta arah kebijakan nagara bergantung pada bentuk pemerintahan yang selayaknya mampu menjadi faktor independen dalam menyeimbangkan seluruh asset negara sebagai kekuatan nasional dalam mencapai kepentingan nasional.
Faktor-faktor kekuatan nasional merupakan elemen-elemen yang menjelaskan besaran kekuatan nasional sebuah negara dalam membagun kekuatan nasionalnya. Pengukuran kekuatan kekuatan nasional, seperti dijelaskan berikut :
Power = (T+P+E+M) X (S+W)
T=TERRITORY
P=POPULATION
E=ECONOMIC STRENGTH
M=MILITARY STRENGTH
S=STRATEGIC PURPOSE
W=NATIONAL WILL
Di dalam formulasi ini, P mengindikasikan Power atau bagaimana sebuah negara memahami Power negara lain. Sedangkan C mewakili Criticak Mass sebuah negara yang terdiri dari dua indikator, yaitu populasi dan teritorial. Nilai populasi tidak terletak pada makan populasi semata-mata namun lebih menekankan pada kemampuan dan kualitas masyarakatnya. E mewakili peranan dari Economic Capability atau kapabilitas ekonomi kemampuan ekonomi sebuah negara, sedangkan Menjelaskan Military Capability atau kapabilitas militer. S mewakili Strategic Purposes atau tujuan stratgis antara negara W adalah Will atau kemampuan atau hasrat negara untuk mewujudkan strategi nasionalnya. Tiga variabel pertama (C,E,M) menjadi variabel yang terkuantifikasi dalam mendukung pengimplementasian tujuan strategis negara dan dukungan dalam mewujudkan strategi nasional (Cline 1975:140)
Kekuatan nasional sebuah negara yang terdiri dari beberapa aktor tersebut merupakan menjadi pertimbangan yang menentukan kekuatan nasional sebuah negara dalam mencapai keamanan nasional. Kecenderungan negara untuk mencapai keamanan mengharuskan negara untuk memprioritaskan berbagai kebijakan negara yang ditunjukan untuk mendapatkan kepastian keamanan dari kondisi politik internasional yang anarki. Dalam kondisi yang anarki inilah, negara perlu mempertahankan eksistensinya dari ancaman negara lain. Atmosfer anarki yang mengarahkan pada bentuk hubungan konfliktual antar negara, serta sifat negara yang memiliki kecenderungan untuk mencapai keamanan memaksa terciptanya sebuah kompetisi keamanan antar negara yang cederung melahirkan kebijakan keamanan yang ekspansionis.
Kecenderungan negara dalam melahirkan berbagai kebijakan keamanan yang ekspansionis tersebut didasarkan pada asumsi utama Realisme klasik yang melihat politik internasional sebagai wilayah kompetisi anta kebijakan keamanan. Kondisi ini memaksa negara untuk memaksimalkan kekuatannya secara relatif sehingga berkonsekuensi pada kondisi zero sum yang semakin menjauhkan dari kerjasama, serta resiko kecurangan dalam kerjasama yang melahirkan atmosfer kompetisi keuatan antar negara. Atmosfer kompetisi antar negara dalam mendominasi negara lain melalui pengembangan kekuatan untuk mencapai titik hegemoni terletak pada usaha setiap negara untuk mengimbangi kekuatan negara lain. Langkah perimbangan kekuatan ini dikenal sebagai bentuk balance of power atau perimbangan kekuatan terhadap negara lain sebagai usaha untuk mencegah dominasi negara lain (Schmidt 2007:51).
0 Comment:
Posting Komentar